Sighat
Ta’liq
Sighat takliq adalah suatu janji secara
tertulis yang ditandatangani dan dibacakan oleh suami setelah selesai prosesi
akad nikah di depan penghulu, isteri, orang tua / wali, saksi-saksi dan para
hadirin yang menghadiri akad perkawinan tersebut. Sighat Ta'lik ini diucapkan
jika proses akad nikah telah selesai dan sah secara ketentuan hukum dan Agama
Islam.
Di bawah ini adalah janji serta ucapan
yang diucapkan oleh Suami / Mempelai Pria :
Bismillahirrohmanirrohim
Bismillahirrohmanirrohim
Wa Aufuu Bil-Ahdi Innal-Ahda Kaana Mas-Uulaa
"Tepatilah janjimu, sesungguhnya janji itu kelak akan
dituntut"
Sighat Ta’lik Yang Dibacakan Sesudah Akad Nikah Sebagai Berikut :
Akad nikah, saya (Nama Mempelai Pria) bin (Nama Ayah Mempelai Pria) saya berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama (Nama Mempelai Wanita) binti (Nama Ayah Mempelai Wanita) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut syariat agama Islam.
Sighat Ta’lik Yang Dibacakan Sesudah Akad Nikah Sebagai Berikut :
Akad nikah, saya (Nama Mempelai Pria) bin (Nama Ayah Mempelai Pria) saya berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama (Nama Mempelai Wanita) binti (Nama Ayah Mempelai Wanita) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut syariat agama Islam.
Selanjutnya saya membaca sighat ta’lik atas isteri saya itu
sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :
Sewaktu-waktu saya :
1.
Meninggalkan istri saya
tersebut dua tahun berturut-turut.
2.
Atau saya tiada memberikan
nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3.
Atau saya menyakiti
badan/jasmani istri saya itu,
4.
Atau saya membiarkan (tidak
memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya,
Kemudian istri saya tidak
ridho dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama, dan pengaduannya
dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya itu membayar
uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti)
kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada pengadilan tersebut
tadi kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian
menyerahkan kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji Cq. Direktorat Urusan Agama Islam untuk keperluan Ibadah
Sosial.
Jakarta, ……………. 2014
Suami,
(…………………)
·
SIGHAT TAKLIK
MENURUT KHI DAN FATWA MUI
Pernikahan merupakan sesuatu yang luhur dan sakral dalam pandangan
agama Islam, bermakna ibadah kepada Allah Azza wa Jalla, mengikuti sunnah
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam . Dalam melangsungkan pernikahan,
peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku mesti diindahkan. Terlebih lagi
peraturan agama Islam hasrus sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunya.
·
Sahnya Perkawinan
Menurut Negara
Dalam Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan dinyatakan bahwa suatu
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi
golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau
tidak ditentukan lain dalam UU Perkawinan tersebut. Di samping itu, tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran,
kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang
juga dimuat dalam daftar pencatatan. (Lihat Pasal 2 ayat (2) beserta penjelasan
umum UU Perkawinan)
·
Melaksanakan UU
Perkawinan Tersebut?
Agama Islam tidak mengatur lalu lintas, misalnya lampu
bang-jo, lampu merah tanda berhenti, lampu hijau artinya jalan; namun apakah
dengan tidak diaturnya hal tersebut menunjukkan bolehnya kita melanggar hal
tersebut? Berhenti ketika lampu merah bukan suatu kemaksiatan, jalan ketika
lampu hijau demikian juga. Hal tersebut bukanlah kemaksiatan kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala, karenanya mesti ditaati. Kalau kita melanggar berarti kita
melanggar aturan agama, bukankah kita mesti taat kepada pemerintah? Tentunya
ketaatan dalam hal yang baik, bukan dalam kemaksiatan. Demikian juga dengan
peraturan-peraturan yang ada di negara kita, tidak terkecuali di bidang
perkawinan. Selama peraturan tersebut bukan dalam rangka bermaksiat kepada
Allah, peraturan tersebut mesti kita indahkan.
·
Sighat Taklik
Sighat taklik adalah perjanjian yang
diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta
nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang
mungkin terjadi di masa yang akan datang. (KHI Pasal 1 huruf e) Sighat taklik
ini terdapat pada buku nikah bagian belakang. Pada umumnya, setelah ijab kabul
selesai, mempelai laki-laki diminta untuk membacanya.
Sebagian dari masyarakat kita,
beranggapan bahwa hal yang demikian (sighat taklik talak) tidak ada tuntunannya
dalam Islam. Tidak ada sunnahnya dalam Islam. Hal tersebut dianggap sebagai
bid'ah (sesuatu yang baru, yang diada-adakan, tidak ada asalnya dalam Islam,
menyerupai syariat, dan dianggap beribadah), dan setiap bid'ah adalah sesat,
dan setiap kesesatan ada di neraka. Hal ini membuat mereka enggan (baca:tidak
mau) untuk mengucapkannya. Kalaupun mengucapkan, itu karena terpaksa.
Terkadang, mempelai yang mempunyai keyakinan seperti di atas, ribut-ribut
dengan Pegawai Pencatat Perkawinan (biasanya dari KUA setempat). Mempelai yang
bersangkutan berpendirian perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya terpenuhi syarat dan rukunya h). Oleh karena itu, ia
tidak harus melakukan sighat taklik talak tersebut.
Sementara Pegawai Pencatat
Perkawinan ataupun pihak lainnya yang berkepentingan (misal: keluarga mempelai
putri) bersikeras agar mempelai laki-laki membaca sighat taklik talak. Mereka
tidak sepakat terhadap mempelai laki-laki; aturan negara mesti ditegakkan.
Sangat disayangkan apabila ribut-ribut tersebut terjadi di hadapan tamu
undangan pada hari H. Di satu pihak mengharuskan membaca, pihak lainnya
bersikeras menolak. Selain mengganggu kekhidmatan acara, juga terlihat janggal
bagi tamu undangan.
·
Sighat Taklik
menurut KHI
Perjanjian Sighat taklik bukan merupakan keharusan dalam
setiap perkawinan. Hal ini kita dapat kita baca di dalam pasal 46 ayat
(3),"Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan
pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan
tidak dapat dicabut kembali." Ayat tersebut jelas menyebutkan bahwa
perjanjian taklik talak bukanlah suatu keharusan bagi setiap muslim.
·
Menurut Fatwa MUI
Hasil Sidang komisi Fatwa MUI, yang berlangsumg diruang
rapat MUI, Masjid Istiqlal Jakarta, pada 23 Rabi'ul Akhir 1417 H/ 7 September
1996, berpendapat bahwa materi yang tercantum dalam sighat taklik talak pada
dasarnya telah dipenuhi dan tercantum dalam UU No. 1/1974 tentang Perkawinan
dan UU No. 7/1989 tentang Peradilan Agama. KHI pasal 46 ayat (3) mengatur bahwa
perjanjian taklik talak bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan.
Berdasarkan uraian diatas jelas bagi kita kedudukan
sighat talik talak ini di dalam peraturan negara. Menurut KHI hal tersebut
bukanlah suatu keharusan (tidak wajib), demikian juga dengan Komisi fatwa MUI.
Oleh karena itu, bagi kaum muslimin yang tidak mau membaca sighat taklik talak,
tak perlu risau. Tidak ada yang mengharuskan untuk membaca hal tersebut seusai
akad nikah. Bagi yang ingin melakukan akad nikah, agar segala sesuatu
dibicarakan beberapa hari sebelum akad nikah agar tidak terjadi hal-hal yang
tidak dinginkan.
0 komentar:
Posting Komentar